Amanah

Amanah tidak pernah salah memilih siapa pengembannya.

-I, 2012-

Kalimat ini pertama kali saya dengar di sebuah acara regenerasi yang dilaksanakan oleh salah satu organisasi di tingkat fakultas. Sebuah kalimat yang kemudian saya sadari, bahwa kalimat itu hanyalah sebuah kalimat pembesar hati saja, sebuah kalimat -yang mungkin bisa ditulis dengan kasar- kebohongan.

Sebuah kalimat yang kemudian saya ucapkan pada banyak orang untuk menguatkan mereka yang kemudian terpilih untuk tanggung jawab besar lainnya.

Ah tapi saya risau, bagaimana mungkin ‘Amanah tidak pernah salah’, ketika birokrasi ini banyak dipegang oleh orang yang salah, ketika petinggi fakultas, universitas banyak dipegang oleh orang yang salah, bagaimana mungkin bisa ada kata “amanah tidak pernah salah”

Dahulu, saya pernah bermimpi kalau saya menempati posisi penting, maka saya dapat melakukan banyak hal, memperbaiki banyak hal. Tapi semua berubah ketika seseorang menyampaikan sesuatu kepada saya di sore itu “kamu seharusnya tidak menempati jabatan ini. Jabatan ini harusnya diisi dia bukan kamu.” Saya sempat berfikir andai saja yang berbicara itu adalah seseorang yang baru saja saya kenal, mungkin dengan mudah saya bisa mengabaikannya. Tapi beliau? Beliau adalah orang yang ketika engkau menyebutkan namanya maka seluruh warga kampus bisa jadi akan mengagumi sikap beliau.

Setelah hari itu, saya berbicara pada diri saya, “kamu takkan lagi menangis ken untuk amanah apapun. Karena bisa jadi amanah itu salah.” (Walaupun sampai sekarang masih tetap nangis juga) Hingga ketika amanah itu tiba tiba “terpikul”, saya bertanya dalam diri saya ” akankah saya menjadi sebuah hadiah atau jangan jangan kepemimpinan saya menjadi sebuah ujian bagi mereka? Diberikan dengan kelembutan kah atau jangan jangan dengan kemurkaan Tuhan?”

Terkadang saya ingat sekali bagaimana sedihnya ketika sebuah amanah penting teremban dalam pundak, menjadi tanggung jawab yang dipikul dalam masa yang ditentukan. Ketika kalimat itu kemudian menyadarkan saya bahwa, siapapun dia yang kemudian terpilih, harus siap kerja sendiri, harus siap menangis sendiri, harus siap untuk bergerak lebih, siap menerima prasangka, siap harus mengeja nafas lebih berat.

Lalu sesuatu menampar saya; bagian dari suara hati saya yang lain. Dia bilang “kamu bukan “rangga” ken, yang lama hilang sampai 10 purnama terus muncul dan merasa innocence. Kamu bukan dia. Kamu bisa jauh lebih baik dari dia.”

Bekasi, 01-11-2016

22.25 wib

Sometimes It feels too hard, when nobody walk beside you. But the show must goes on