Cinta (tak selalu) dalam Aksara

Kau tidak bisa mengatakan cinta tanpa mau menerima komitmen, tanpa sanggup bertanggung jawab.”

-Anonymous-

Waktu saya remaja, ketika saya akhirnya memiliki teman, saya bilang ke beliau

“Keluargaku enggak seperti keluarga kamu, yang bisa bilang sayang, cinta. Kalau di keluarga aku, mamah memasak ya karena memang kewajiban, ayahku nyari uang karena kewajiban. Udah, hubungan dikeluarga aku itu semuanya kayak hak dan kewajiban. Jadi kamu tahu kan, enggak mungkin diantara kami saling berterima kasih, terus bilang sayang dkk.”

“haha. kenapa gitu?” tanyanya sambil diselingi tawa kecil.

“tabu aja. haha” jawabku

dan akhirnya pembicaraan kami berakhir dengan tawa seperti biasanya.

Ketika dirumah tak kudapati seorang ibu yang akan memeluk anaknya, menanyakan kesehariannya, atau seorang ayah yang akan mendengar celotehan anaknya. Sempat protes waktu itu, dan seperti biasa hanya dijawab dengan tawa saja.

Hingga akhirnya saat saya mulai mendewasa, saya akhirnya memahami bahwa definisi cinta adalah lebih dari sekedar mengatakan “Aku sayang” atau “Aku Cinta.” lebih dari sekedar aksara yang mampu dituliskan oleh pena.

Karena cinta adalah bentuk dari komitmen, penugasan tanggung jawab, penjagaan terhadap satu sama lain dan hal ini tak mampu jika dirangkai hanya dengan aksara. Ibu ku memasak, dan melakukan aktifitas rumah tangga lainnyanya adalah tanda ia menunjukkan cintanya, lebih dari sekedar aksara. Ayah yang kemudian mencari nafkah, adalah bentuk tanggung jawab dan rasa cintanya pada keluarga, lebih dari sekedar aksara. Tak semua orang mampu menunjukkan bentuk cintanya dalam aksara. Yang ia tahu cinta adalah kerja nyata untuk membahagiakan seseorang atau keluarga.

Hanya saja kadang, kita masih terus menanyakan kepastian, apakah cinta itu ada. dan akhirnya saya paham, kadang kita tak perlu menemukan kata cinta dalam sebuah aksara, setiap orang memiliki caranya dalam mencintai. Cukup rasakan dan syukuri :’)

karena cinta (tak selalu) dalam aksara..

Bekasi, 31 Agustus 2016

Welcome Back September :’)

Melepaskan

Bismillah,

“Lepaskan saja” begitu sahutnya dengan jutek dalam suatu waktu.
Dulu, saya tak begitu memahaminya. Karena bagi saya mimpi saya, angan saya adalah milik saya, ikhtiar yang harus terus diperjuangkan tak peduli apapun kondisinya.

Sama seperti saat saya kecil, saya hanya akan melepaskan ketika saya telah “mendapatkan” hal lain yang lebih menarik dan saya sukai. 
Hingga akhirnya ketika dewasa saya sadar, paradigma itu kurang tepat agaknya. Karena ternyata saya harus melepaskan banyak hal untuk kemudian mendapatkan suatu hal. Kadang, ketika saya telah “mendapatkan” hal tersebut, ternyata itu bukan hal yang akan menarik perhatian saya, atau tak pernah saya harapkan sebelumnya. 
Tapi ada yang kemudian berbeda ketika saya telah melepaskan banyak hal yang saya sukai untuk “mendapatkan” hal yang (mungkin masih) saya kurang sukai. Syukur dan Sabar. 

Saya menjadi banyak bersyukur karena saya harus semakin belajar banyak untuk bersabar, dan dengan kesabaran yang ada saya berkembang menjadi dewasa (walaupun sekarang masih jauh #eh)

Hingga kemudian Allah berikan apa apa yang telah saya lepaskan dengan ganti yang sangat jauh lebih baik, dari arah yang tak pernah saya duga. Dan datang ketika saya tak berambisi untuk mendapatkan.

:’)
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan.”

-Qs. Ar Rahmaan-

Bekasi,

07-08-2016